Saat orang-orang yang dipimpin (misal bawahan atau rakyat) diminta memilih sosok Pemimpin, bayangan indah mereka mengharapkan sosok baik, pengertian, mau jadi pendengar, dekat, dan semacamnya (biar gampang kita sebut ‘Pemimpin Baik Hati’)
Namun dari sisi Sang Pemimpin, yang dihadapinya jauh lebih besar. Pemimpin menghadapi target-target dan visi besar, tantangan perubahan, serangan kompetitor, dan di saat yang sama ia juga perlu memenuhi kesenangan dan keinginan orang-orang yang dipimpin tadi.
Karenanya, ‘Pemimpin Baik Hati’ mungkin cukup untuk membahagiakan banyak orang secara sementara, namun ia tak cukup dalam membangun entitas yang dipimpinnya.
Saat hanya jadi ‘Pemimpin Baik Hati’ di bisnis, misalnya… Para bawahan bakal bahagia sementara waktu. Tapi segera bisnis dihantam sana-sini, penjualan merosot, kalah saing, operasional membengkak. Bisnis masuk dalam tahap kritis, membuat sebagian bawahan mungkin perlu dikurangi (dipecat) atau harus bersedia menegosiasikan ulang gajinya. Berakhir dengan tetap bahagia? Enggak juga.
Bayangkan ‘Pemimpin Baik Hati’ seperti itu banyak sektor lain, termasuk memimpin keluarga hingga negara.
Jika ‘Pemimpin Baik Hati’ saja tidak cukup, lantas bagaimana?
Sikap baik hati Sang Pemimpin perlu diimbangi dengan Kekuatan. Bukan hanya ‘Baik Hati’ dalam memimpin. Ia juga musti kuat, punya bargaining position sulit digoyang, mampu menegosiasikan kepentingannya atas kepentingan pihak lain, bahkan menyerang balik pengganggu saat dibutuhkan.
Untuk menjadi ‘Pemimpin dengan kekuatan’, ia perlu punya kuasa, punya jejaring luas, bahkan didukung oleh banyak orang kuat dibelakang, juga seringkali perlu sokongan dana besar.
Anda mungkin pernah dengar beberapa kali, saat seorang Pemimpin memutuskan, “Tidak mengambil gaji, demi organisasi.” Atau, “Gaji saya dikembalikan ke rakyat.” Tampak mulia banget. Tapi kita juga perlu sadar bahwa orang tersebut bisa melakukannya karena sokongan dana untuk dirinya memang sudah besar dari sumber lainnya.
Jadi, dari sisi Pemimpin, terlalu naif jika ingin memimpin hanya dengan modal niat baik dan hati tulus, berharap segala kebaikan hati itu membuat orang yang dipimpin akan menyerahkan hati sepenuhnya. Ada kenyataan pahit bahwa sebagian (dalam jumlah besar) hanya setia karena diberi, dan tak lagi mendukung kita saat susah dan tak lagi mampu memberi.
Bagi orang-orang yang dipimpin, terlalu beresiko memberi dukungan pada orang yang hanya ‘Baik Hati’ Tapi sejatinya gak punya kekuatan. Kebahagiaan bakal terasa sebentar. Selebihnya ditengah jalan akan turut menanggung akibat dari kelemahan yang disebabkan kurangnya kekuatan Sang Pemimpin.
Ditulis oleh:
Surya Kresnanda
@suryakresnanda
0811 2244 111