Memulai bisnis dengan modal nol atau modal kecil, adalah impian hampir setiap orang yang ingin menjalani hidup untuk mewujudkan value tertentu.
Emak-emak bikin bisnis kue rumahan, dia jadi chef sekaligus customer service dan merangkap sebagai direktur. Serba bisa deh pokoknya. Tak terkecuali bapak-bapak nggak mau kalah buat jadi desainer, fotografer, konsultan, buka toko buku online, bikin kafe kecil buat ngopi, dan sebagainya.
Semua ditangani sendiri, biaya operasional murah, keuntungan tinggi. “Inilah masa depan!”
Saat order makin tinggi, tuntutan pelanggan semakin banyak, mulai kerasa kan kalok sendirian itu sudah nggak cukup lagi. Saatnya Membangun Tim Bisnis. Pertanyaannya adalah….. bagaimana caranya?
Bukan gak tahu cara…. tapi yang jauh lebih dikhawatirkan adalah…
“Apakah tim saya nanti mau bekerja dengan rajin?”
“Apakah ia cukup kompeten untuk menyelesaikan pekerjaannya seperti cara saya melakukan?”
“Apakah ia bisa dipercaya untuk memegang peran-peran penting di dalam bisnis ini?”
Oke saya paham… Mempercayakan sebagian tanggung jawab operasional bisnis kepada orang lain itu rasanya seperti menyerahkan setengah nasib anak kita ke pihak di luar lingkaran keluarga inti. Pasti banyak kekhawatiran. Tapi kalau semua ditangani sendiri, bisa-bisa hasil pelayanan bisnis malah buruk, kualitas menurun, atau banyak peluang besar jadi terlewatkan. Dilema…
Membangun tim bisnis memang ada seninya. Salah seorang teman saya pernah berbisnis makanan. Ia rekrut tetangganya untuk memasak. Diajarinya langkah demi langkah SOP memasak, sampai sang tetangga merasa paham. Lalu ditinggalnya untuk mengurusi hal lain. Saat ia kembali, semua masakannya selesai dalam kondisi rusak hancur berantakan. Tak layak dijual, yang akhirnya dia makan sendiri. Ini kisah nyata lho…
Membangun tim bisnis memang ada caranya. Tak sekedar selesai dengan ambil orang baru, tugaskan dia pekerjaan tertentu, lalu segalanya beres.
Membangun tim bisnis secara garis besar perlu memperhatikan 3 poin utama:
1. REKRUT
Sebelum memutuskan merekrut, pertimbangkan kriteria dasarnya. Jangan terlalu banyak, karena menyulitkan mencari orang baru. Jangan juga terlalu blur sehingga jadi nggak jelas ukurannya.
Tentukan 1 atau 2 saja kriteria kompetensi yang tak bisa diganggu gugat harus ada. Misal untuk merekrut admin, saya menentukan satu kriteria dasar bahwa ia perlu lancar membuat proposal. Saat saya minta membuat proposal dan saya ceritakan garis besarnya, ia langsung berkreasi mengetiknya (meski tidak harus sempurna) tanpa bingung sana-sini. Itu cukup… kompetensi lain, bisa dilatih sambil jalan saja.
Kalo merekrut social media marketing, ya cari orang yang… main Instagram dan Facebook itu udah second nature-nya. Soal bagaimana konten marketing produk kita, bisa dia pelajari sambil jalan kan?
Hindari ukuran-ukuran tidak jelas seperti “Mau/senang belajar dan bertumbuh”. Semua orang akan bilang iya saat kita tanya gitu. Tapi apa benar ia siap?
2. LATIH
Seiring berjalannya waktu, tim kita perlu dikembangkan kompetensinya. Kita sebagai Pemimpin-lah penanggung jawab utama atas belajar dan bertumbuhnya tim. Bisa diajari langsung, atau memfasilitasi mereka belajar kepada orang yang tepat. Bisa juga memberi ruang salah untuk mencoba-coba sesuatu sembari belajar.
Satu hal yang perlu dihindari dalam membangun tim bisnis adalah, menuntutnya langsung bisa dan bagus hasilnya. Semua butuh proses. Bahkan jika kita merekrut tim dengan kualifikasi tinggi, berbagai penyesuaian tetap perlu dilakukan, misal penyesuaian budaya dan cara kerja, penyesuaian jalan pikiran, dll.
Pemimpin perlu menyediakan waktu dan tenaga secara khusus dalam rangka menjadi guru sekaligus mentor untuk tim. Pemimpin-lah yang paling tahu bagaimana suatu pekerjaan seharusnya dikerjakan, serta seperti apa cara efektif dan tidak efektif. Selain itu, Pemimpin juga nantinya berinteraksi dalam jumlah tinggi dengan timnya, sehingga mengenal dengan baik keunikan setiap orang.
Detil bagaimana melatih tim bisnis tentu kita bahas di artikel lain nanti. Namun jika belum-belum sudah berpikir untuk meng-outsource-kan proses melatih ke orang luar, siap-siaplah menemui banyak ketidakcocokan dan pemborosan.
3. PANTAU
Apakah jika seseorang sudah dilatih, maka langsung berubah dan jadi jago mengerjakan pekerjaannya? bisa iya bisa juga tidak. Tapi kebanyakan tidak.
Masih ingat kisah teman saya yang bisnis makanan di atas? ia sudah ajari, latih, tetangganya sudah paham. Begitu teman saya kembali, hancur hasilnya. Kok bisa?
Ternyata tetangganya itu punya kebiasaan masak sehari-hari di rumahnya yang berbeda dengan SOP yang diajarkan teman saya. Awal-awal hasil memasaknya bagus. Lama-kelamaan sang tetangga kembali ke kebiasaan lamanya dalam memasak. Ditambah isi pikirannya hanya, “Yang penting target masak sekian banyak”, sehingga tidak memperhatikan bahwa cara masaknya sudah keluar dari SOP.
Saat orang dilatih kompetensi baru, ia berjuang untuk membangunnya menjadi kebiasaan. Perjuangan tersebut tentu berat karena berhadapan dengan kebiasaan lama yang rasanya lebih mudah dilakukan. Ditambah tuntutan pekerjaan tinggi sehingga orang jadi cenderung, “Kerjakan secara mudah saja agar target di atas kertas tercapai“. Dalam kondisi itu, tak ada yang mengingatkan, tak ada yang meluruskan, sehingga hasilnya tak sesuai harapan.
Setelah tim dilatih, ia perlu dipantau. Apakah sudah bisa diterapkan di lapangan dengan baik? jika sesekali keluar jalur, perlu diingatkan untuk kembali ke jalur.
Mungkin di tengah jalan proses memantau, Pemimpin menemukan ada kemampuan lain lagi yang perlu ditambahkan, maka bisa diputuskan untuk merencanakan pelatihan berikutnya. Begitu terus proses berputar hingga tim bisa menyelesaikan pekerjaannya sebagai kebiasaan baru. Kita pun bisa mendelegasikan dan mempercayakan tugas penting padanya dengan rasa aman sehingga dapat berfokus pada pekerjaan lainnya.
Ditulis oleh:
SURYA KRESNANDA
Head Coach at Kanirana
0811 2244 111