‘INGIN’ DIPAHAMI’ SECARA SALAH KAPRAH


Dalam salah satu sesi Coaching, seorang Coachee perempuan saya beri tantangan menyelesaikan masalah yang membutuhkan logika tinggi sembari menekan perasaannya. Ia dihadapkan pada dilema keputusan dalam kondisi tak bisa menyenangkan semua orang.

Di tengah dilema hati, tercetuslah kalimat sakti yang (katanya) banyak beredar di dunia emak-emak, “Coach… saya kan perempuan… Perempuan lebih dominan perasaan daripada logika…”

Tepatkah pernyataan itu? Mari kita lihat.

Pertama, Coachee saya ini punya Goal, sesuatu yang wajib ia selesaikan. Kedua, Goal itu menuntut dia jadi Pemimpin tegas dan mengambil keputusan, meski tak menyenangkan semua orang. Ketiga, mengambil keputusan secara tepat demi kepentingan bisnis dan organisasi butuh mengutamakan berpikir logis secara proaktif dibanding reaktif emosional.

Jadi saat ia perlu mengutamakan logika di atas emosi, itu bukan maunya saya sebagai Coach. Itu maunya Goal. Karena pencapaian Goal membutuhkan itu. Baik Coach maupun Coachee wajib tunduk pada kebutuhan Goal tersebut.

Pertanyaan berikutnya, apa bisa mengedepankan logika di atas emosi, dilakukan perempuan?

Saya pake analogi puasa. Badan kita punya mekanisme lapar saat perut kosong. Secara alamiah, dia akan keroncongan, minta diisi makanan. Dan makan dalam situasi itu, adalah respon normal manusia.

Namun kenapa orang yang berpuasa tetap menunda memasukkan makanan? Padahal perut sudah meronta bukan main.

Jawabnya… Karena punya Goal! Goal-nya adalah menyelesaikan puasa secara sempurna. Dan aktivitas ‘menunda makan’ dibutuhkan untuk mencapai Goal itu. Maka ‘menunda makan’ sejatinya bukan maunya Coach, bukan maunya Coachee, tapi maunya Goal. Jika berharap Goal tercapai, ya harus dilakukan.

Masalah menunda makan demi Goal berupa sempurnanya puasa, tidak melihat apakah dia anak kecil, orang dewasa, orang tua… manusia gemuk yang katanya banyak cadangan makanan, atau si kurus dengan cadangan minim… semua ya musti menunda makan apapun yang terjadi.

Sama halnya dengan kejadian diawal artikel. Masalah perempuan lebih mudah dikuasi emosi, mungkin ada benarnya (ini debatable ya). namun saat sudah melihat Goal, apapun kondisi kita, ya perlu tetap melakukan hal yang perlu dilakukan. Artinya, kita musti menjadi pribadi fleksibel, siap menyesuaikan diri demi Goal tercapai.

Jangan sampai keinginan kita untuk dipahami, malah membajak pikiran untuk enggan melakukan hal yang sejatinya perlu dilakukan. karena pada akhirnya, kita butuh Goal itu tercapai kan?

Ya… kecuali kalo sejak awal Goal tersebut gak penting-penting amat.

Ditulis oleh:
Surya Kresnanda
@suryakresnanda
0811 2244 111


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *