Saat itu dalam situasi pengalaman minim, saya dipercaya memimpin bengkel bubut kecil, terdiri atas 1 admin, 1 mandor, dan 10 operator. Modal lulusan Teknik Industri.
Karena kebanyakan belajar teori bisnis yang humanis, saya dibutakan oleh bayangan bisnis dimana orang-orang di dalamnya saling mendukung dalam nuansa kekeluargaan, memberi lebih dari yang menjadi tugasnya, sebab merasa bahwa tempat kerja adalah rumah mereka. Seperti banyak buku bisnis (yang saya baca) katakan sebagai kepemimpinan yang baik.
Maka yang saya lakukan pertama adalah, menjadi pendengar yang baik, mau mendengar berbagai keluhan mereka, mau mengayomi mereka. Karena mereka manusia yang ingin dimanusiakan. Betul kan? Gitu kata buku-buku bacaan saya. Apalagi saat itu kondisi usaha di internal sedang kacau. Orang-orang di dalam saling menyalahkan. Bukankah saya harus merangkul mereka? mulai ajak bicara satu-satu?
SALAH BESAR.
Yang ada, sistem gak jalan karena setiap orang banyak maunya dan beda-beda. Lalu hal ini membuat mandor gak punya kekuatan, karena operator merasa bisa langsung curhat ke atas kalo ada apa-apa. Lha mandor takut dong kalo operator bilang, “Saya mau gini, sudah saya bicarakan sama pimpinan”. Saat itu saya membunuh total kepemimpinan sang mandor.
Para operator jadi merasa berkuasa, karena nganggap suaranya didengar. Apa itu membuat mereka merasa tempat kerjanya sebagai rumah? Ternyata enggak.
Mereka tetap menganggap tempat kerja sebagai tempat mencari uang. Dan perilaku kepemimpinan saya, malah menjadikan mereka merasa perusahaan seperti tempat main aja dimana bisa santai meski kerjaan gak beres karena toh pemimpinnya “baik”.
Belum lagi, sebagian opoerator jadi merasa bisa memanfaatkan celah dengan menipu.
Pinjam uang perusahaan, bahkan ke saya, katanya demi pengobatan orang tua. Padahal bohong.
Mereka juga makin gampang punya alasan gak masuk kerja, lagi-lagi karena pemimpinnya (saya) orang “baik”.
Apakah perusahaan menjadi baik? Enggak! yang ada ancur.
Sebagai Pemimpin, saat itu seharusnya saya mulai dengan penilaian kinerja ketat, disiplin tinggi, dan melakukan coaching kepada mandor untuk bisa mengawasi operator dengan lebih baik.
Selain itu, ada diantara operator yang jadi provokator negatif. Seharusnya segera saya cut. Tapi saat itu saya begitu khawatir menjadi pemimpin yang buruk jika memecat, padahal justru dengan saya tidak memecat, saya jadi pemimpin lemah, lembek, dan jadi mudah dimanfaatkan oleh operator lain yang ikut terprovokasi untuk nakal juga.
Kejadian itu cukup memberikan saya satu pelajaran penting: MEMIMPIN BISNIS ITU, MEMASTIKAN PEKERJAAN DIJALANKAN DENGAN BENAR, sebagai prioritas pertama.
Baru setelahnya boleh dipikirkan, misal membuat suasana nyaman, mendengarkan keluh kesah tim sampai masalah pribadi, boleh. Selama emang mereka siap mengerjakan pekerjaan dengan benar.
Membangun kekeluargaan boleh, selama dilakukan di atas landasan PROFESIONAL pastiin tim kerjanya bener, baru bangun kekeluargaan. Jangan kebalik.
Ditulis Oleh:
Surya Kresnanda
@suryakresnanda
0811 2244 111