Di suatu siang, setelah pekerjaan yang melelahkan, seorang karyawan (sebut saja Andi) dipanggil oleh Pimpinan. Katanya, akan menjalani sesi ‘Coaching’. Momen ini sering bikin Andi deg-deg-an. Kenapa? kita simak prosesnya.
“Kamu tahu kenapa saya panggil untuk Coaching?” Pimpinannya langsung bertanya, disambut oleh gelengan kepala pelan dari Andi sebagai pertanda tidak paham.
“Kamu kemarin melakukan kesalahan ini, ini, ini, itu…” Sang Pimpinan melanjutkan. Andi menyimak dan berusaha memahami.
“Besok jangan diulangi ya… Perbaiki!” Pimpinan menutup dengan satu kalimat sakti yang selalu terucap di tiap akhir sesi ketemu. Andi tak punya pilihan selain menjawab, “Baik Pak…”
Selepas sesi yang disebut ‘Coaching’ tadi, Andi pun bingung. Sebagian penjelasan Pimpinan, sebenarnya tak benar-benar dipahami. Namun jika jujur, ia khawatir Pimpinannya makin marah. Setelahnya, Andi pun masih bingung, “Duh, bagaimana saya memperbaikinya ya?”
Cuplikan kisah di atas adalah kejadian ‘Coaching’ yang sering ditemui di berbagai organisasi atau perusahaan. Prosesnya jelas tidak efektif. Kenapa? karena kecil kemungkinan akan terjadi perbaikan.
Coaching yang dilakukan seorang Pimpinan kepada Tim, memang ada peran evaluasi dan koreksi di dalamnya, agar senantiasa terjadi progress. Dan Progress is King adalah satu prinsip penting dalam Coaching. Namun untuk bisa efektif menghasilkan progress, prosesnya perlu memenuhi beberapa syarat, yaitu:
Pertama, Pimpinan sebagai Coach perlu punya data valid dan detil. Tidak berhenti pada, “Pekerjaanmu gak maksimal!”. Tapi tunjukkan, di bagian mana tidak maksimalnya? seperti apa tepatnya yang disebut tidak maksimal? Tidak ada salahnya mencoba menggali data itu langsung dari Tim yang menjalani sesi Coaching untuk mengkonfirmasi atau bahkan mendapat tambahan informasi lebih banyak, termasuk informasi mengenai upaya apa saja yang sebelumnya sudah dilakukan Tim untuk memperbaiki.
Kedua, Pimpinan sebagai Coach perlu memastikan Tim memiliki rencana eksekusi secara jelas. Rencana yang diprediksi, jika diimplementasikan, akan memberi hasil lebih baik dari sebelumnya. Berarti, tidak boleh berhenti pada rencana yang sama seperti sebelumnya dan sudah terbukti nggak works. Lebih parah lagi, jangan sampai seperti kasus Andi dimana Pimpinan sekedar menyuruh memperbaiki, tapi tidak memastikan Andi punya rencana perbaikan yang jelas. Cek aja hasilnya… usai pertemuan pun Andi belum tahu harus bagaimana.
Ketiga, ingat bahwa peran Coaching tidak berhenti pada pertemuan antara Pimpinan dengan Timnya. Di dalam Coaching ada fungsi penjagaan di dalam eksekusi. Artinya, Pimpinan tidak sekedar meminta, “Nanti laporkan ya! apakah berhasil atau tidak” melainkan turut mengawasi proses eksekusinya. Ibarat Coach sepak bola yang melihat pertandingan Tim agar bisa secara langsung menilai strateginya efektif atau tidak? perlu ganti strategi atau tidak? perlu perubahan-perubahan di tengah jalan atau tidak? sehingga penyimpangan bisa segera ditangani, mumpung masih menyimpang sedikit.
Pengalaman Andi, jika terus berulang akan menghasilkan putaran ‘itu-itu saja’. Evaluasi akan berputar pada bahasan yang sama terus, tidak terasa progress di dalamnya, sehingga malah membuang waktu dan energi pikiran. Coaching kehilangan potensi penuhnya untuk mengakselerasi pencapaian target kinerja.
———————————————————————————————————-
Ditulis oleh:
SURYA KRESNANDA
0811 2244 111